
Oleh: Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. –hafizhahullah–
Para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- merupakan generasi terbaik yang dipilih oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- untuk menemani Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam memperjuangkan, dan menyebarkan Islam. Jasa mereka kepada Islam dan kaum muslimin amat besar.
Namun sangat disayangkan, pada hari ini muncul generasi yang jelek berusaha merendahkan para sahabat, menghina mereka, bahkan menganggap mereka munafiq dan kafir, na’udzu billah.
Usaha merendahkan dan mencela sahabat, muncul dengan berbagai macamnya.
Ada yang menghina sahabat dengan alasan “Studi Kritis Sejarah Islam”, atau“Pembelaan Terhadap Ahlul Bait”, dan berbagai macam slogan yang berakhir pada satu muara, yaitu mencela sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .
Parahnya lagi, jika usaha busuk ini diusung oleh para mahasiswa muslim.
Ini tentunya menyalahi adab dan aqidah ahlus sunnah yang memerintahkan kita memuliakan sahabat, memujinya, mendoakan kebaikan baginya, dan menahan lisan dan hati dari benci kepada mereka.
Mencela sahabat, apalagi sampai menganggapnya munafik, dan telah berbuat makar, atau mengkafirkannya adalah merupakan perkara yang berbahaya bagi aqidah seorang muslim.
Seorang muslim harus membersihkan lisan dan hatinya dari kata-kata yang tidak layak, sifat benci dan dendam kepada para sahabat -radhiyallahu anhum ajma’in-, apakah ia dari kalangan orang-orang terdahulu masuk Islam ataukah belakangan.
Yang jelas ia adalah sahabat Nabi-shollallahu alaihi wasallam-, maka kita harus beradab dan sopan kepada mereka dalam berkata dan bersikap.
Cinta para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, baik itu ahlul bait maupun bukan merupakan tanda keimanan seseorang, dan membenci mereka adalah tanda nifaq.
Al-Imam Al-Bukhary –rahimahullah– berkata, “Bab Tanda Keimanan Adalah Cinta Kepada Orang-Orang Anshar”.
Setelah itu Al-Bukhary membawakan sebuah hadits dari Anas -radhiyallahu ‘anhu-dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ بُغْضُ اْلأَنْصَارِ وَآيَةُ الْمُؤْمِنِ حُبُّ اْلأَنْصَارِ
“Tanda kemunafiqan itu adalah membenci orang-orang Anshar dan tanda keimanan itu adalah mencintai orang-orang Anshar”. [Lihat Shahih Al-Bukhoriy(1/14/17)]
Al-Imam Abu Bakr As-Suyuthiy -rahimahullah- berkata ketika menafsirkan hadits di atas,
“الآية هي العلامة ومعنى هذه الأحاديث أن من عرف مرتبة الأنصار وما كان منهم في نصرة دين الإسلام والسعي في إظهاره وإيواء المسلمين وقيامهم في مهمات دين الإسلام حق القيام محبهم النبي صلى الله عليه وسلم وحبه إياهم وبذلهم أموالهم وأنفسهم بين يديه وقتالهم ومعاداتهم سائر الناس إيثارا للإسلام وعرف من علي ابن أبي طالب رضي الله عنه قربه من رسول الله صلى الله عليه وسلم وحب النبي صلى الله عليه وسلم له وما كان منه في نصرة الإسلام وسوابقه فيه ثم أحب الأنصار وعليا لهذا – كان ذلك من دلائل صحة إيمانه وصدقه في إسلامه لسروره بظهور الإسلام والقيام بما يرضي الله سبحانه وتعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم ومن أبغضهم كان بضد ذلك واستدل به على نفاقه وفساد سريرته.” اهـ من الديباج على صحيح مسلم بن الحجاج (1/ 92)
“Tanda-tanda orang beriman adalah mencintai orang-orang Anshar. Karena, siapa saja yang mengerti martabat mereka dan apa yang mereka persembahkan berupa pertolongan terhadap agama Islam, jerih-payah mereka memenangkannya, menampung para sahabat (muhajirin,pen), cinta mereka kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, pengorbanan jiwa dan harta mereka di depan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, permusuhan mereka terhadap semua orang (kafir) karena mengutamakan Islam dan mencintainya. Semua itu merupakan tanda kebenaran imannya, dan jujurnya dia dalam berislam. Barangsiapa yang membenci mereka di balik semua pengorbanan itu, maka itu merupakan tanda rusak dan busuknya niat orang ini”. [Lihat Ad-Dibaj ala Shohih Muslim Ibnil Hajjaj (1/92)]
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda saat melarang keras mencela para sahabat dengan menerangkan martabat mereka,
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Andaikan seorang di antara kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, niscaya infaq itu tak mampu mencapai satu mud infaq mereka, dan tidak pula setengahnya”. [HR.Al-Bukhary dalam Shahih-nya (no. 3470), Muslim dalam Shahih-nya (no. 2541)].
Dari dua hadits ini dan hadits lainnya yang semakna, Ahlis Sunnah menetapkan suatu aqidah: “Wajibnya mencintai para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan tidak mencela mereka, bahkan memuliakan mereka serta membersihkan hati dan lisan dari membicarakan permasalahan di antara para sahabat, mencela, merendahkan dan menghina para sahabat”.
Sebab merekalah yang memperjuangkan Islam dan menyebarkannya dengan mengorbankan harta dan jiwa mereka sampai kita juga bisa merasakan nikmat Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata, “Di antara prinsip Ahlus Sunnah, selamatnya hati dan lisan mereka dari sahabat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam- dan berlepas diri dari jalan hidupnya orang-orang Rofidhoh yang membenci dan mencela para sahabat. Mereka (Ahlussunnah) menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara mereka, dan berkata:
[‘Sesungguhnya atsar-atsar yang teriwayatkan mengenai kejelekan para sahabat, di antaranya ada berita dusta, ada juga yang sudah ditambahi dan dikurangi, serta diubah dari semestinya’].
Para sahabat lebih dahulu berislam, dan memiliki keutamaan-keutamaan yang mengharuskan diampuninya dosa yang ada pada dari mereka, apabila ada. Sehingga mereka diampuni dari segala kekeliruan yang tidak diampuni bagi orang setelah mereka. Lalu jika ada dosa pada salah seorang di antara mereka, maka mereka (tentunya) akan bertaubat darinya, atau ia melakukan kebaikan yang bisa menghapuskan dosanya atau diampuni dosanya karena keutamaan dahulunya masuk Islam, atau karena syafa’at Nabi Muhammad -shollallahu ‘alaihi wasallam- kepada mereka, yangmana mereka adalah orang yang lebih berhak mendapatkan syafa’atnya, ataukah ia ditimpakan suatu bala’ di dunia yang bisa menghapuskan dosanya. Jika ini hubungannya dengan dosa yang nyata, maka bagaimana lagi dengan perkara yang mereka di dalamnya berijtihad? Jika mereka benar, maka mereka mendapatkan dua pahala. Jika keliru, maka mereka mendapat satu pahala, sedangkan kesalahannya terampuni”.[Lihat Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah(hal. 139-152) karya Syaikh Shaleh Al-Fauzan, dengan sedikit perubahan tanpa merusak dan mengubah makna].
Orang Rafidhah yang disebut oleh Syaikhul Islam, mereka adalah berasal dari orang-orang majusi yang mengaku masuk Islam dengan tujuan merusak Islam dari dalam.
Mereka berkedok dengan pembelaan bagi Ahlul Bait dalam rangka mencela, bahkan mereka mengafirkan para sabahat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- agar Islam hancur.
Sekarang Rofidhoh (baca:Syi’ah) bermarkas di Iran. Karenanya, kami ingatkan kaum muslimin agar berhati-hati terhadap mereka dan jauhkan anak-anak kita dari mereka, jangan sampai di sekolahkan di negeri mereka (khususnya, di Qum, Iran), hanya karena diiming-imingi dengan dunia dan gelar, sementara ia rela mengorbankan aqidah. Na’udzu billah minal khudzlan.
Hal ini perlu kami jelaskan, karena orang-orang Rafidhah (terkenal dengan sebutan Syi’ah), belakangan ini banyak merasuki dunia kampus, dan sebagian oragnisasi dakwah.
Selain itu, mereka memakai senjata “nikah mut’ah” (nikah kontrak/nikah tanpa wali). Banyak mahasiswa yang terpengaruh dengan mereka karenanya. Apalagi nikah mut’ah dibumbui dengan janji-janji pahala dan keutamaan yang mereka ada-ada.
Ketahuilah, mereka adalah kaum yang memiliki niat busuk dalam mencela sahabat Nabi kita -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.
Al-Imam Muhammad bin Al-Husain Al-Ajury -rahimahullah- berkata,
“يَنْبَغِي لِمَنْ تَدَبَّرَ مَا رَسَمْنَاهُ مِنْ فَضَائِلِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفَضَائِلِ أَهْلِ بَيْتِهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ أَنْ يُحِبَّهُمْ وَيَتَرَحَّمَ عَلَيْهِمْ وَيَسْتَغْفِرَ لَهُمْ , وَيَتَوَسَّلَ إِلَى اللَّهِ الْكَرِيمِ بِهِمْ وَيَشْكُرَ اللَّهَ الْعَظِيمَ إِذْ وَفَّقَهُ لِهَذَا , وَلَا يَذْكُرَ مَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ وَلَا يَنْقُرَ عَنْهُ وَلَا يَبْحَثَ.” الشريعة للآجري (5/ 2485)
“Seyogyanya bagi orang yang mau mentadabburi apa yang telah kami torehkan berupa keutamaan-keutaan para sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- dan keluarga beliau -radhiyallahu anhum ajma’in- agar mencintai mereka, mendoakan rahmat bagi mereka, memohonkan ampunan bagi mereka, mencari jalan kepada Allah untuk mereka, juga bersyukur kepada Allah karena ia diberi taufiq (petunjuk) kepada hal ini, serta tidak menyebutkan perselisihan yang terjadi di antara mereka, dan mengorek-ngoreknya, dan tidak pula mencari-carinya”.[LihatAsy-Syari’ah (hal. 2485), karya Al-Imam Al-Ajurriy.]
Oleh karena itu, tak wajar jika seorang muslim menyebarkan hadits yang berisi kisah celaan kepada Tsa’labah bin Hathib, yang di dalamnya terdapat pelecehan bagi beliau. Karena, itu termasuk perkara yang dilarang Ahlus Sunnah, kecuali jika kita sebutkan hadits itu demi menjelaskan kelemahan dan kepalsuannya, maka tidak mengapa. Bahkan bisa mendapatkan pahala karena membela kehormatan sahabat Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-.
Al-Imam An-Naqid Abu Zur’ah Ar-Rozy -rahimahullah- berkata,
«إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَّ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيقٌ , وَذَلِكَ أَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَّ عِنْدَنَا حَقٌّ , وَالْقُرْآنَ حَقٌّ , وَإِنَّمَا أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقُرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَّ , وَإِنَّمَا يُرِيدُونَ أَنْ يُجَرِّحُوا شُهُودَنَا لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ , وَالْجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَى وَهُمْ زَنَادِقَةٌ» اهـ من الكفاية في علم الرواية للخطيب البغدادي (ص: 49)
“Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam-, maka ketahui bahwa orang itu zindiq. Karena Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- di sisi kami benar, dan Al-Qur’an adalah kebenaran. Sedangkan yang menyampaikan Al-Qur’an ini kepada kami adalah para sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam-. Mereka (para pencela tersebut) hanyalah berkeinginan untuk menjatuhkan saksi-saksi kami agar mereka bisa membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Padahal celaan itu lebih pantas bagi mereka, sedang mereka adalah orang-orang zindiq”. [Lihat Al-Kifayah (hal. 49), karya Al-Khathib Al-Baghdadiy]
Mencela sahabat adalah tanda dan sebab seseorang ditutup hatinya sampai ia menjadi munafik atau kafir. Mencela para sahabat tidaklah sama mencela orang selainnya, sebab mencela mereka memberikan efek buruk bagi dakwah dan Islam.
Al-Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah- berkata,
” مَنْ شَتَمَ أَخَافُ عَلَيْهِ الْكُفْرَ مِثْلَ الرَّوَافِضِ، ثُمَّ قَالَ: مَنْ شَتَمَ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَأْمَنُ أَنْ يَكُونَ قَدْ مَرَقَ عَنِ الدِّينِ ” اهـ من السنة لأبي بكر بن الخلال (3/ 493)
“Barangsiapa mencela (sahabat), maka aku takutkan kekufuran atas dirinya, seperti orang-orang Rofidhoh.”
Lalu beliau berkata lagi, “Barangsiapa yang mencela para sahabat Rasulullah–shollallahu alaihi wasallam- , maka kami tak merasa aman atas dirinya dari keluarnya ia dari agama”. [Lihat As-Sunnah (3/439) karya Al-Khollal]
Seorang muslim haram hukumnya mencela sahabat Rasulullah –alaihish sholatu was salam- dan wajib mencintai mereka. Namun dalam mencintai mereka tidak boleh berlebihan.
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan aqidah Ahlussunnah,
(وَنُحِبُّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا نُفَرِّطُ فِي حُبِّ أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَلَا نَتَبَرَّأُ مِنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ. وَنُبْغِضُ مَنْ يُبْغِضُهُمْ، وَبِغَيْرِ الْخَيْرِ يَذْكُرُهُمْ. وَلَا نَذْكُرُهُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ. وَحُبُّهُمْ دِينٌ وَإِيمَانٌ وَإِحْسَانٌ، وَبُغْضُهُمْ كُفْرٌ وَنِفَاقٌ وَطُغْيَانٌ) اهـ من شرح العقيدة الطحاوية_ت : الأرناؤوط (2/ 689)
“Kami mencintai para sahabat Rasulullah -shollallahu alaihi wasallam-, tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antara mereka,dan tidak berlepas diri dari salah seorang di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan menyebutnya bukan dalam kebaikan. Kita tidak menyebut para sahabat, kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, keimanan, dan kebaikan. Sedang membenci mereka merupakan kekufuran, kemunafikan, dan pelampauan batas”. [Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (hal. 689), karya Ibnu Abil Izz Al-Hanafy.]
Ahlus Sunnah biasa dinamai “Al-Jama’ah”. Mereka memiliki ciri yang dikenal pada mereka berupa kecintaan kepada para sahabat. Mereka juga menetapkan bahwa manusia yang paling utama setelah para nabi dan rasul adalah Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman, dan berikut Ali bin Tholib.
Al-Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufiy -rahimahullah- berkata,
“الْجَمَاعَة أن تفضل أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعَلِيًّا وَعُثْمَانَ وَلا تَنْتَقِصَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ _صلى الله عَلَيْهِ وَسلم_.” اهـ من الانتقاء في فضائل الثلاثة الأئمة الفقهاء (ص: 163)
“Al-Jama’ah: Engkau mengutamakan Abu Bakar, Umar , Ali, dan Utsman, dan engkau tidak mencela salah seorang diantara sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- “. [Lihat Al-Intiqo’ fi fadho’il Ats-Tsalatsah Al-A’immah (hal. 163), karya Ibnu Abdil Barr, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah]
Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas -rahimahullah- berkata,
” الَّذِي يَشْتِمُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لَهُ سَهْمٌ، أَوْ قَالَ: نَصِيبٌ فِي الْإِسْلَامِ ” اهـ من السنة لأبي بكر بن الخلال (3/ 493)
“Orang yang mencela para sahabat Nabi -shollallahu alaihi wasallam- tidak memiliki saham-atau ia berkata:- bagian dalam Islam”. [Lihat As-Sunnah (3/493) karya Al-Khollal]
Ketika kita melihat kekurangan pada diri sebagian sahabat, atau mereka melakukan suatu perkara yang kita anggap sebuah pelanggaran, maka hendaknya kita memohonkan ampunan bagi mereka, berbaik sangka serta membersihkan hati dan lisan kita dari mencela mereka.
Al-Imam Al-Humaidy -rahimahullah- berkata,
أصول السنة للحميدي (ص: 6)
فلم يؤمر إلا بالإستغفارٍ لهم، فمن يسبهم أو ينقصهم أو أحداً منهم , فليس على السُنَّة، وليس له في الفئ حق
“Seseorang tidaklah diperintah kecuali untuk memohonkan ampunan bagi mereka (sahabat). Barangsiapa yang mencela mereka atau meremehkan mereka atau salah seorang dari mereka, maka ia bukanlah di atas sunnah, dan ia tidak memiliki bagian dari fa’i (rampasan perang)”. [Lihat Ushul As-Sunnah, hal. 6, karya Al-Humaidy]
Inilah beberapa pernyataan dari para ulama Ahlussunnah tentang orang yang mencela sahabat.
Lantaran itu, janganlah anda tertipu dengan sebagian orang yang berusaha mencela para sahabat, sekalipun dengan istilah dan slogan “Studi Kritis Terhadap Sejarah Hidup Para Sahabat”.
Karena, hal ini bukanlah jalannya Ahlus Sunnah, bahkan jalannya orang-orang Rofidhoh, dan orientalis yang ingin meruntuhkan Islam dengan jalan mencela dan merendahkan para sahabat.
Kenapa? Karena dengan mencela mereka, otomatis akan menolak riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para sahabat berupa hadits-hadits Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sedang ajaran dan syariat Islam, terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits.
Ahlus Sunnah menjauhkan diri dari mengorek-ngorek kesalahan para sahabat dan menghukumi mereka.
Para sahabat -radhiyallahu anhum- adalah suatu kaum yang telah mempersembahkan amal sholeh dan jihad dalam membela Islam.
Bahkan para sahabat Rasulullah –alaihish sholatu was salam- telah menghabiskan waktunya, mengorbankan harta dan tenaganya dalam membela Nabi –shollallahu alaihi wasallam-, Islam dan menyebarkannya sehingga sampai kepada kita.
Mereka telah banyak berusaha dan berkorban untuk Islam. Lalu apa yang kita persembahkan untuk Islam, sehingga kita merasa lebih hebat dibandingkan sahabat dan malah justru mau menghakimi mereka yang telah lama meninggal.
Lalu apa manfaat yang kalian peroleh dalam mengkritisi sejarah hidup para sahabat?
Wallahi, tiada lain kecuali kerugian yang akan kalian petik di dunia dan akhirat.Nas’alullahal afiyah wassalamah minal khudzlan !
Sumber:
https://abufaizah75.blogspot.co.id/2018/03/jangan-mencela-para-sahabat.html